: Tata Kay
aku berjalan menyusuri kotamu. dalam sepi yang mengendap hinggap di
kalbu. gerimis masih turun. kadang menghalangi pandang, kadang
menyentuh pucuk kepala. ritmis, hingga terasa magis dan aku
menikmatinya bersama ingatan- ingatanku yang selalu saja menarikmu
bertumpu di pikiranku.
aku berjalan pelan di kotamu. menangkap seluruh apa yang bisa
kutangkap dengan mata dan hati untuk kuabadikan sebagai kenangan, kelak
ketika aku pulang dan hanya berhak mengingatmu saja tanpa harus
menyentuhmu lagi, semua akan membuatku kembali menertawakan ketololanku.
gerimis masih ada, betah menemani kesepian yang berdentam- dentam
selama aku berjalan. dan kurasakan, sesuatu yang menarik sel- sel di
seluruh tubuhku begitu kuat, menimbulkan kelelahan luar biasa setiap
kali aku mengingatmu. tapi aku terus berjalan di antara gerimis, dan
hari itu aku mulai menyukai rasanya. dingin, lembut seperti kau
barangkali namun kini itu hal yang paling besar dan utama dalam
prioritasku untuk dilupakan. bukankah seharusnya memang begitu?
kumasukkan jari- jariku yang mulai dingin dalam saku baju, mencoba
menggeraikan rambut sekaligus menggeraikan kenangan yang memanggil-
manggil untuk keselusuri, padahal yang sekuat tenaga ingin kuhindari.
aku cuma ingin berjalan- jalan, mengingatmu sedikit namun menyimpan
segalanya di benakku agar satu saat aku bisa mengingatnya dengan baik.
kenangan itu, jalan ini, taxi itu, alamat ini dan hujan yang terakhir
itu, saat kita berpisah. maka kukemas seluruh perasaan yang tersisa dan
membuangnya hingga rasanya begitu banyak tempat yang mendadak kosong di
ruang hatiku.
dan aku berbalik arah, tak mungkin datang kepadamu dengan hati yang
melankolis seperti ini hingga tujuanku untuk melupakanmu terbang
dibawa angin bulan desember. lalu berpatah- patah di sebelahmu,
memandangmu penuh rindu sementara hatimu entah berjalan kemana. kupikir
kau bukan batu atau patung namun ketika bersamamu aku merasa menjadi
pematung yang sedang memandang penuh kagum pada penciptaannya. oh betapa
perasaan yang pernah kupelihara untukmu ini begitu membodohkan.
aku terus berjalan dan tiba di depan rumah yang kutinggali
sementara, gerimis masih turun seolah di atas sana seseorang sedang
menghapus air matanya dengan tisue dan memerasnya di atas kepalaku,
memandang bangunan itu dengan sedih. terbayang beberapa waktu lampau
ketika kau memelukku di balik jendela kaca saat hujan menderas di luar.
aku merasa cinta dan hubungan kita selalu tertinggal di dalamnya.
melekat dan berserak menjadi lumut yang memagari rumah itu dari angin
dan badai. pelukanmu, kata- katamu, tidakkah kau berpikir akan begitu
sulit melupakan semua itu saat aku tak ingin dibebaskan dari perasaan
ini? tapi kau sudah memilihkan jalan untukku, hingga saat ini yang
kuinginkan cuma satu, pergi darimu dan mengkoperkan seluruh kenangan
kita di dalam kotak hitam kecil itu.
begitulah. ketika tiba dan saat hujan datang di kotaku, aku tidak
ingin apa- apa kecuali dipeluk rindu, rindu yang luar biasa namun kau
enyahkan. aku lantas bergelung dalam kenyamanan yang kucipta sendiri.
mengingatmu, merindukanmu, menangisimu untuk terakhir kali. benar-
benar untuk yang terakhir kali hingga kebosanan merajam seluruh
ingatanku.
betapa bodohnya sungguh, kusia- siakan waktu setahun lebih untuk
berjalan bersamamu, seseorang yang tak pernah mampu untuk setia.
December' 2012