kerianganku ditelan ombak pantai losari angin laut, kepulan kenangan dan deru kapal yang jauh kian mendorongnya hilang
hingga kukenal lekat jalan pulang menuju bayang sendiri : sunyi
di sini malam terasa lebih gelap dan dingin
kesepian yang menyayat sepanjang pettarani,
memantul seperti bola, menggemakan kehilangan berulang- ulang
begitu lirih dan berkarib pada perasaan yang murung
hingga antara tubuhku dan tubuhmu, kenangan berhamburan seperti air dari pipa yang bocor, melumat kerianganku
sampai lidah ini kelu dibakar rasa rindu
di sebuah pantai, senyummu menjadi ombak yang memanggilku.
kesiur angin
laut, suara peluit dari pelabuhan dan kapal- kapal yang berlayar,
menulikan ingatanku tentang dia yang jauh berperahu ke seberang.
sampai
kapan dia ditunggu, ditunggangi rindu yang luar biasa menikam lebih dari
tombak nelayan yang memagut ikan- ikan dan kembali pulang,
aku dihajar
sepi berulang- ulang.
laki- laki dari timur, kubawakan padamu sekuntum duri, mawarnya kau simpan di mana?
di sebuah cafe, matahari jadi keliaran yang mesti kupadamkkan dengan segelas limun aku
duduk di ujung meja bartender, memilin kata- kata, sesekali menguap,
memandang keluar, menatap pintu yang berayun menutup dan membuka,
berselisih pandang dengan penjaga pintu di luar,
bertanya- tanya, bila
senja, akan kutuang kemana sisa kopi dan kenangan yang tak ingin
dikenang
Hujan tak jadi turun padahal di luar kabut menggantung pilu Ada suara- suara datang dari kejauhan Berderap bersama rindu yang kubuatkan kantungnya di kalbu Dan rindu itu memainkan melodinya hari ini Di belakang hari- hari kemaren yang rasanya seperti jatuhnya embun di daun- daun Hening, bening dan penuh kenangan
Lembut di perdu matamu ibu, menempa rinduku dari tahun ke tahun Aku bersandar di rimbunnya doa, kepadamu selalu..
hujan yang selalu turun di musim ini, berulang- ulang menanam kabut di mataku
engkaukah penjaja sepi yang kutemani tiap kenang datang merayap, mengisi gelas- gelas kopi dan sepiring kue yang tak pernah habis disantap, ketika malam menjelang dan pagi tak pernah habis melumat bibirku
nyeri itu,
O, betapa kian menyibak hadirmu yang sebentar
semisal malam, akulah kabut. berkumpul di bawah
cahaya lampu merkuri sebuah jalan depan rumahmu. menunggu fajar tiba
lalu berpindah di kaca jendela, menempel di daun- daun. embun yang setia
mengingatkanmu bahwa dingin itu seperti kesepian abadi, melingkari
mataku yang tak hendak lepas menatapmu
semisal kata, akulah abjad.
menghimpun diri bak puisi, lahir dari kenangan, hari sepi, cangkir
kopi, matahari atau bahkan apa saja. maka temani penciptaanku sebab engkaulah segala tuju itu
ada yang bilang kangen, Alejandro ketika masih terang tanah dan embun- embun mulai berkerumun daun- daun segar seperti daging mentah yang baru dibelah padahal jendela belum lagi terbuka
mereka bilang kangen padaku, Alejandro kangen seperti ombak yang menabuh geladak kapal
buihnya memecah, dilarung kabut tengah hari ikan tembang terbang dan mati di buritan terbawa kailmu
mereka bilang kangen padaku, Alejandro berpura- pura jadi tentara, pergi berperang dengan senjata besi mau melawan siapa jika tak ada musuh selain nyawa sendiri sepi?
aku harus bagaimana, Alejandro di palang pintu telah tertegun sebuah nama yang diukir pisau dari matamu dan aku melihatmu dengan cinta yang terhunus seperti pedang siapa yang akan kau bunuh kembali sedang mereka hanya pura- pura kecuali aku yang menantimu di depan laut memainkan selendang sambil berujar : kemarilah, kemarilah kau cintaku satu..