Saturday, July 30, 2011

TAK PANDAI MENULIS PUISI





Ini syair dan sedikit puisi yang tercipta saat bunyi guntur dan badai kecil di luar menghantam kaca jendela. Juga karena aku yang mendadak dilanda melankolis, saat hujan menderas dan bayangmu melintas, duduk pada sebuah ceruk yang di belakangnya arus sungai bergerak menuju teluk, memandang yang tak terlihat olehku.
Seberapa besar kau mengingatku ketika hujan jatuh dan dingin menyusup begini? Kau tidak bisa tibatiba menganggapku tak ada bukan?
Coba pandangi aku yang berbaju dengan warna yang kau sukai. Di situ sudah ada rindu yang tak pernah lepas mengikat.
Dulu kau bertingkah seperti laki- laki yang sedang jatuh cinta dan membuatku mengira bahwa kau mencintaiku. Semua yang salah, bersamamu selalu terasa benar dan baik- baik saja. Dan bagaimana itu bisa bertahan begitu lama? Apa aku buta? Padahal aku telah berada dalam kepastian yang bulat. Tapi kau tak pernah benar- benar mengingatku, kan? Kau bahkan sering menyebut kau dan aku sebagai kita, istilah matrimonial itu kini terasa menyesakkan. Lalu kemana kau saat hujan begini dan aku sendiri?

Ini syair dan sedikit puisi ketika aku mengingatmu tertawa di sebuah halte yang atapnya berwarna biru muda, kosong dan duduk pada bangku yang mulai berkarat. Aku mencium bibir, mempermainkan kuncirmu yang tebal dan kasar, dan mencari setiap cahaya yang berpendar dari matamu. Kekosongan lalu menyergap bagai badai, menggilas harapan yang tak ingin kulenyapkan.

Mengenangmu, sungguh, aku tiba- tiba merasa hanya menjadi seorang penyair kampungan dengan lutut yang lemah dan selalu gemetar
bukan pemilik sebuah hati yang pandai menulis puisi...




Ketika Hujan Turun di Kotaku, 27112010

No comments:

Post a Comment